Jumat, 06 Juni 2008

CIRCLE OF DEATH : Gagalnya Perusahaan Membaca Sinyal Perubahan

Artikel
Oleh : Ahmad Najib (F1B006066)

Badai topan yang menghajar ekonomi Indonesia sejak awal Juli 1997 sampai sekarang terlampau dahsyat. Fenomena yang menarik untuk dikaji dari krisis ini adalah bertumbangnya sejumlah perusahaan konglomerasi yang selama ini diyakini tidak bakal ambruk.
Efek domino yang terjadi dari hantaman akumulasi masalah eksternal yang ada telah memporak-porandakan dunia usaha.
Kondisi lingkungan usaha menjadi semakin sulit diprediksi secara linier, karena memang fenomena linieritas sudah tidak ada lagi di dalam lingkungan bisnis yang semakin ganas. Penetrasi variable eksternal kedalam sistem organisasi perusahaan, hanya mungkin ditanggapi dengan baik bila pengelolaan usaha tidak lagi ada dasar business as usual.
Mempertahankan diri untuk tetap exist dan survive dalam lingkungan usaha yang bergejolak saat ini bukan persoalan mudah. Menurut De Geus, pakar Strategic Management dan Bisnis Internasional dari London Business School setidaknya ada dua alas an mengapa perusahaan yang ada kini tidak mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Pertama, perusahaan-perusahaan tersebut di tengah dinamisnya perubahan tidak mampu membaca, menangkap, dan mengidentifikasi sinyal-sinyal perubahan. Oleh karena itu ketika perubahan itu benar-benar terjadi, mereka tak siap menghadapinya karena struktur internalnya memang terlambat dan tak mampu melakukan penyesuaian.
Perusahaan-perusahaan tersebut bubar dan berakhir karena pihak manajemen perusahaan-perusahaan tersebut hanya memfokuskan diri dan terbelenggu secara sempit pada bahasa dan pemikiran ekonomi belaka.
Manajemen hanya memfokuskan diri pada aktivitas memproduksi barang dan jasa dengan kombinasi optimal faktor produksi yang dimiliki demi tercapainya keuntungan yang maksimal, tetapi melupakan esensi hakiki perusahaan sebagai komunitas manusia.
Gagal Membaca Sinyal Perubahan
Bubarnya perusahaan akibat ketidakmampuan menangkap sinyal perubahan seakan mendapat justifikasi ketika Collins dan Porras (1994) dari Stanford University membeberkan hasil penelitian mereka terhadap 700 perusahaan besar di Amerika sepanjang tahun 1988 - 1994. perusahaan-perusahaan yang mampu bertahan hidup dan berusia sepuh menurut mereka rata-rata sensitive dan adaptif terhadap perubahan lingkungan. Mereka selalu merubah diri mendahului perubahan. Sehingga ketika terjadi gejolak eksternal, struktur internal perusahaan mampu menyesuaikan diri bahkan mampu memanfaatkan perubahan yang terjadi. Dengan bahasa yang lebih sederhana, perusahaan-perusahaan tersebut mampu membaca, mengidentifikasi, dan menangkap sinyal perubahan lebih cepat sehingga tanggap akan konsekuensi yang ditimbulkannya.
Pertanyaan kemudian, mengapa di tengah kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan akses ke berbagai saluran informasi, manajemen perusahaan kemudian tak mampu membaca, menangkap, dan mengidentifikasi sinyal perubahan?
Menurut De Geus, gagalnya perusahaan membaca, menangkap, dan mengidentifikasi perubahan setidaknya disebabkan oleh tiga alasan.
Pertama, karena hakekat perusahaan sesungguhnya merupakan kumpulan manusia, maka secara psikologis manusia sendiri memang punya resistensi untuk berubah. Ini sebagaimana diungkapkan para psikologis yang sebenarnya merupakan sesuatu hal yang positif. One should not change for change sake, kita tak harus berubah karena sebuah perubahan.
Kedua, sinyal perubahan tak terbaca dan teridentifikasi karena perusahaan memang belum terbiasa dan belum berpengalaman terhadap gejala perubahan itu sendiri. They can not see what their mind have not experiented before!
Cerita tentang kepala suku di Malaysia pada awal abad 20 ini mungkin bisa menjadi ilustrasi yang menarik untuk hal ini.
Pada awal abad 20 ini, ketika penjelajah dan penjajah Inggris menjejakkan kaki pertama kali ke Malaysia, mereka bertemu dengan sebuah suku yang sangat primitif di sebuah pegunungan di Malaysia. Saking terbelakangnya suku ini, dalam kehidupannya mereka masih belum mengenal roda. Mereka sepertinya masih hidup di zaman batu.
Para penjelajah Inggris ini kemudian berkenalan dengan kepala sukunya, dan setelah cukup lama berinteraksi mereka menyimpulkan bahwa si kepala suku ini adalah seorang yang sangat cerdas dan bisa diharapkan untuk menjadi agen perubahan bagi masyarakatnya. Untuk itu, para penjelajah Inggris ini kemudian membawa si Kepala suku ini ke Singapura yang waktu itu secara teknologi, ekonomi dan social sudah relatif maju dan diperkenalkan dengan berbagai kemajuan di sana.
Selama 24 jam si kepala suku ini di ajak berkeliling, berziarah, dan bersilahturrahim ke berbagai tempat. Ia dibawa berkeliling ke pelabuhan, ke galangan kapal, ke pasar, ke tempat-tempat hiburan, ke pabrik-pabrik dan ke berbagai tempat lainnya. Setelah lelah berkeliling merekapun memutuskan kembali ke daerah si kepala suku ini.
Setelah melakukan semacam briefing, para penjelajah Inggris kemudian menanyakan kepada si kepala suku Malaysia ini tentang apa saja yang menarik perhatiannya di Singapura yang kira-kira bisa dikembangkan untuk kemajuan daerahnya. Si kepala suku inipun menjawab bahwa hal yang paling menarik perhatiannya di Singapura adalah bahwa orang-orang Singapura mampu mengangkat pisang lebih banyak dari orang-orang di kampungnya! Kalau orang di kampungnya hanya mampu mengangkat setandan pisang dan meletakkan di punggungnya, orang-orang Singapura ternyata mampu mengangkat banyak pisang sekaligus dengan menggunakan gerobak dan kereta!
Si kepala suku yang cerdas ini telah diajak menziarahi berbagai sinyal perubahan. Ia diajak ke pelabuhan, ke galangan kapal, tempat-tempat hiburan, iapun diajak ke berbagai pabrik dan berbagai tempat lainnya, tapi ia tak mampu menangkap dan 'melihat' berbagai sinyal perubahan tersebut karena pikiran dan emosinya memang belum berpengalaman terhadap berbagai sinyal perubahan itu. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika yang "terlihat", tertangkap dan teridentifikasi kemudian adalah bagaimana orang Singapura mengangkat pisang, karena memang pikiran dan emosinya sudah terbiasa dan punya pengalaman tentang masalah bagaimana mengangkat pisang ini. He can not see what his mind has not experienced before ! Ia tak mampu melihat sesuatu yang lain yang dirinya secara emosional dan pemikiran memang belum terbiasa.
Cerita tentang kepala suku ini memang layak untuk direnungkan, karena dalam konteks perusahaan, banyak sekali perusahaan yang gagal membaca dan menangkap sinyal perubahan karena secara emosi dan pikiran mereka memang belum terbiasa dengan berbagai sinyal perubahan yang ada. Kemajuan teknologi informasi, fluktuasi pasar modal, perubahan nilai kurs dan banyak fenomina ekonomi lainnya masih merupakan hal "baru" bagi banyak perusahaan. Tidaklah mengherankan jika berbagai hal baru tersebut mereka hadapi, mereka kemudian gagap menghadapinya.
Betapa banyak pimpinan perusahaan duduk begitu angkuh di ruangannya tanpa menyadari bahwa lingkungan tempat perusahaan mereka beroperasi kini sudah berubah. Perubahan yang dialami bukan hanya perubahan gradual tetapi lingkungan operasi perusahaan sudah berubah secara total. "Buta"-nya banyak pimpinan perusahaan terhadap pemanfaatan teknologi informasi seperti internet misalnya bisa dijadikan contoh kongkret. Padahal seperti dikemukakan Hamill (1997) adanya internet telah mengubah perspektif eksekutif terhadap lingkungan bisnis yang begitu dinamis dan turbulen. Karenanya tidaklah mengherankan jika strategi sukses hari ini, bisa jadi bumerang dan bencana untuk esok hari akibat ketidakmampuan menyibak dan membaca tanda-tanda perubahan.
Ketiga, kegagalan perusahaan menangkap sinyal perubahan karena memory of the future dari banyak perusahaan memang tidak terlatih untuk membuat dan menyimpan berbagai alternatif tindakan. Manajemen perusahaan sudah sangat terbiasa dengan pola piker mekanis dengan menganut pemikiran manajemen rationalist dimana arah perusahaan seakan mudah ditentukan berdasarkan hasil analisa lingkungan (SWOT).
Agenda Reformasi
Mengamati bertumbangnya perusahaan belakangan ini, memberikan sinyal mengenai bagaimana manajemen perusahaan selama ini hanya mempersepsikan perusahaan sebagai mesin ekonomi belaka. Manajemen hanya memfokuskan diri pada upaya mengejar pertumbuhan semata-mata dengan kombinasi optimal faktor produksi dan melupakan esensi hakiki perusahaan sebagai komunitas manusia. Oleh karena itu diperlukan suatu agenda reformasi bagi manajemen perusahaan pasca krisis.
Pertama,orientasi manajemen perusahaan harus berubah. Jika keadaan perusahaan masih harmonis dengan keadaan lingkungannya maka tugas utama manajemen adalah berusaha terus mengejar laba untuk kemudian tumbuh menjadi besar. Esensi manajemen dalam konteks ini adalah alokasi efektif dari sumberdaya yang dimiliki perusahaan kepada tempat-tempat yang memungkinkan munculnya maksimasi keuntungan.
Akan tetapi jika yang sebaliknya terjadi, dimana keadaan lingkungan menjadi sangat bergejolak atau tercipta keadaan krisis dan resesi seperti saat ini, kebijakan manajemen perusahaan harus bergeser secara mendasar, dari memburu keuntungan untuk tumbuh, menjadi bagaimana menyelamatkan diri untuk tetap exist dan survive. Seperti dipertegas oleh Ackoff ; profit is just like oxygen, we need for life! Keuntungan tetap diburu, tetapi keuntungan tersebut bukan merupakan raison d'etre dari manajemen perusahaan. Tujuan hakiki perusahaan tetap saja untuk mempertahankan hidup agar mampu bertahan lebih lama.
Kedua, manajemen perusahaan harus memandang perusahaan tidak lagi sebagai mesin ekonomi belaka yang hanya berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa demi maksimisasi keuntungan segelintir pemilik perusahaan. Manajemen perusahaan harus memandang perusahaan sebagai suatu 'entitas hidup' yang menyediakan banyak ruang bagi manajemen untuk berimprovisasi.
Realitas yang ada memang menunjukkan bahwa manajemen perusahaan tidaklah sesederhana mesin yang dengan mudah dioperasikan dan dikendalikan dengan manual yang telah dibuat dan disepakati. Perusahaan sesungguhnya adalah kumpulan manusia yang senantiasa terus belajar dan beradaptasi. Dan kemampuan untuk belajar dan beradaptasi ini sesungguhnya hanya dimiliki oleh sesuatu yang 'hidup', sesuatu yang mempunyai jiwa. Dan jika melihat faktor produksi yang dimiliki perusahaan, hanya labour atau manusia yang hidup dan memiliki jiwa. Dengan kata lain faktor labour atau manusia kini harus dilihat sebagai faktor produksi yang dominan, sehingga kalau terjadi krisis atau resesi seperti sekarang ini, labour atau manusia ini tidak harus menjadi yang pertama dan utama yang harus dikorbankan oleh manajemen perusahaan.
Masih banyaknya PHK akibat adanya resesi atau krisis seakan menjadi bukti bahwa labour atau manusia memang masih menjadi faktor produksi yang marjinal dibandingkan capital. Padahal seperti dikemukakan Peter Drucker, era capital ini sudah berlalu dan digantikan oleh era knowledge society, era yang lebih menghargai manusia dibandingkan modal.
Selain itu, mempersepsikan perusahaan sebagai mesin berarti manajemen perusahaan melihatnya sebagai sesuatu yang statis. Hanya bisa berubah jika seseorang merubahnya. Mesin tak mungkin merubah dirinya sendiri. Sedangkan melihat perusahaan sebagai suatu entitas yang hidup, berarti melihatnya seperti air yang mengalir, sesuatu yang senantiasa beradaptasi untuk memperbaiki dirinya.
Dengan menganggap bahwa perusahaan sebagai suatu entitas yang hidup juga akan memunculkan kesadaran kepada manajemen perusahaan bahwa tak selamanya "kehidupan" perusahaan senantiasa bahagia dan berjalan mulus. Sebagaimana kehidupan manusia, suka dan duka adalah sesuatu yang datang silih berganti dan menjadi bagian dari kehidupan. Oleh karena itu jika terjadi kerugian dan "goncangan" perusahaan tak lantas panik dan gagap, karena memang esensi kehidupan memang demikian adanya. Menganggap perusahaan sebagai mesin ekonomi belaka, memungkinkan manajemen perusahaan bertindak pragmatis untuk mengejar dan mempertahankan suka, padahal sesungguhnya suka tersebut sedang mendendangkan lonceng kematian. Duka kadangkala memang dibutuhkan, karena memang duka membuat kita menjadi lebih sabar sehingga kuat dan mampu bertahan hidup lebih lama.
Ketiga, agar perusahaan tetap exist dan survive maka manajemen perusahaan harus memiliki memory of the future yang lebih banyak dan varitif. Oleh karena itu paradigma manajemen rationalist yang kini banyak diterapkan oleh manajemen perusahaan sudah saatnya digantikan dengan paradigma manajemen processual.
Pola pikir rationalist yang sangat mengandalkan analisa lingkungan, menentukan arah dan cetak biru perusahaan, kemudian melakukan formulasi dan implementasi strategi kini tidak lagi relevan untuk dijadikan satu-satunya pegangan. Lingkungan bisnis kini sudah berubah dengan sangat dramatis sehingga pola pikir processual yang mengandalkan scenario planning dan menyediakan banyak alternatif tindakan memang semakin masuk akal untuk diterapkan.
Akhirnya, apapun yang akan dilakukan manajemen perusahaan dalam kondisi krisis dan resesi seperti sekarang ini sangat tergantung kepada resisten tidaknya manusia-manusia yang terlibat dalam manajemen perusahaan untuk berubah. Jika orientasi manajemen adalah berusaha terus mengejar laba untuk kemudian tumbuh menjadi besar, resisten untuk berubah memang masih masuk akal. Tetapi jika orientasi manajemen perusahaan berubah dari mengejar laba untuk tumbuh besar menjadi menyelamatkan diri untuk tetap exist dan survive, perubahan memang menjadi sesuatu yang sulit untuk dihindarkan. Dan situasi krisis dan resesi seperti sekarang ini memang mau tidak mau "memaksa" mereka untuk melakukan perubahan. Dan mudah-mudahan perubahan ini menjadikan kinerja perusahaan menjadi lebih baik sehingga kuat bertahan dan dapat hidup lebih panjang.

diambil dari http://www.zulkieflimansyah.com/in/circle-of-death-gagalnya-perusahaan-membaca-sinyal-perubahan.html

Tidak ada komentar: