Sabtu, 07 Juni 2008

Sensitif Terhadap Perubahan dan Manajemen Perubahan


oleh : Famella Tia D S (F1B006070)

Sebelumnya saya ingin menceritakan tentang seekor katak yang terjatuh kedalam sebuah panci besar berisi air yang sedang dipanaskan. Semula air tak terasa panas dan ia sangat menikmati. Tetapi tanpa ia sadari lama kelamaan air itu semakin panas. Lalu katak itupun mati dalam air mendidih. Lain cerita jika katak itu langsung dilempar kedalam air panas. Mungkin ia akan segera melompat keluar.

Kisah tersebut menggambarkan betapa penting bersikap sensitif terhadap perubahan. "Become a student of change. It is the only thing that will remain constant. – Menjadi pelajar perubahan merupakan satu hal yang abadi," kata Anthony J. D'Angelo, penulis The College Blue Book. Bila kita sudah berhasil mencapai target, bukan berarti kita bisa tidur lagi tetapi kita harus terus belajar supaya lebih peka dan selalu siap berubah.

Contoh dalam realitas dunia bisnis, dulu Motorola merajai pasar handphone di dunia. Tetapi posisi Motorola terus merosot karena tidak peka terhadap perubahan permintaan pasar. Berbeda dengan Nokia dan Ericson yang kini sukses mengusai pasar telepon selular karena selalu menciptakan produk unggulan terbaru dan masing-masing memiliki keunikan tersediri.

Contoh lain adalah IBM yang dulu pernah menguasai pasar komputer di dunia. Tetapi karena produk tersebut kurang mengerti permintaan pasar, maka posisinya berangsur tergeser. Posisi tersebut kini dikuasai inovasi dan kreasi Apple dan Microsoft. Sebenarnya masih banyak contoh lain yang menggambarkan pasang surut di dunia bisnis karena sangat dipengaruhi oleh inovasi dan kreativitas sejalan dengan perubahan dan keinginan pasar itu sendiri.

Dengan kata lain, kepekaan terhadap perubahan memungkinkan kita terus berkembang dan berhasil. Sebagaimana Mark Victor Hansen mengatakan, "You must be on top of change or change will be on top of you. – Anda harus berada diatas perubahan, atau perubahan itu menggilas Anda." Tetapi ada beberapa hal yang harus kita perhatikan untuk memanajemen perubahan yang senantiasa kita upayakan supaya berdampak positif atau tidak menciptakan tekanan negatif terhadap kehidupan kita.

Tips pertama memanajemen perubahan adalah mengenali diri sendiri, keadaan di sekitar dan tujuan yang ingin kita capai. Cara tersebut memudahkan kita mendapatkan ide cemerlang untuk menciptakan sesuatu yang berbeda. Selanjutnya ide-ide tersebut akan sangat membantu kesiapan kita dalam melangkah dan bahkan mencintai perubahan itu sendiri.

Sebagai gambaran misalnya saya terjebak pusaran arus sungai yang sangat kuat dan pasti menenggelamkan saya. Jika saya bertahan diatas permukaan dengan segala kekuatan yang saya miliki tentu saya tidak akan bertahan lama hidup, maksimal mungkin hanya 1-2 menit. Tetapi kemungkinan saya masih bisa selamat jika saya pergunakan seluruh kekuatan yang saya miliki untuk mengikuti pusaran air sampai suatu ketika arus tersebut membawa saya ke permukaan.

Contoh ketika terjadi krisis multi dimensi sejak tahun 1997, waktu itu semua dunia usaha terpuruk khususnya yang bermodal besar. Kita pasti hanya mampu bertahan sebentar jika menantang arus perubahan akibat krisis multi dimensi tersebut. Tetapi bila kita cukup memahami dan mengikuti kemana arus perubahan itu, memahami tujuan yang ingin kita capai yaitu keberhasilan dan segala sesuatu yang sangat dibutuhkan pasar, tentu akan muncul ide cemerlang untuk sebuah peluang prospektif. Artinya dengan memanfaatkan arus perubahan dan kondisi yang terbentuk akibat perubahan itu mungkin kita lebih mampu bertahan dan sampai ke tujuan.

Tip kedua adalah memandang positif setiap kesempatan dan kemungkinan baru. Hal itu bermanfaat bagi kita supaya lebih menghargai waktu yang sedang kita miliki. Langkah tersebut seringkali juga bermanfaat bagi kita lebih memahami pelajaran dan hubungan baru supaya kehidupan kita menjadi lebih stabil, sehat, kaya, dan bahagia.

Tip ketiga dalam memanajemen perubahan adalah memperkuat dasar-dasar personal. Artinya melakukan aktifitas yang dapat kembali memfokuskan diri terhadap target. Misalnya saya pribadi meluangkan waktu untuk belajar, bermeditasi atau beribadah, dan berolah raga, karena aktifitas tersebut memperkuat komitmen saya untuk selalu menjadi lebih baik. Berdasarkan penelitian juga disebutkan bahwa orang-orang yang senang berlatih memiliki mental lebih baik untuk berkreasi dan meraih kesuksesan.

Tip ke 4 adalah meluangkan waktu untuk mengoreksi langkah-langkah yang sudah kita tempuh. Bila kita bertumbuh itu sangat memungkinkan kita berbuat kesalahan, dan dari sanalah kita belajar. Kemudian segeralah kembali mencoba dengan cara yang baru, benar dan sistematis supaya tidak terjadi kesalahan yang sama. "Unless you change how you are, you will always have what you've got. – Kecuali jika Anda mengubah cara Anda, maka Anda akan selalu mendapatkan impian Anda,"
kata Jim Rohn.

Tip ke 5 adalah membuat jadwal yang terorganisir dengan baik. Kita mungkin cukup disiplin mengerjakan hal-hal penting. Tetapi bila kita mencatat jadwal tersebut, itu akan lebih memastikan kita menjalankan langkah-langkah perubahan dengan benar atau tidak tergoda untuk melakukan tindakan yang sia-sia.

Secara garis besar Heraclitus menyimpulkan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan. "There is nothing permanent except change," katanya. Mungkin dulu kita sering kali menghubungkan perubahan dengan perasaan ketakutan dan ketidakpastian. Tetapi bila kita memberi kesempatan atau waktu untuk membiasakan diri memanajemen perubahan dengan baik, maka lambat laun kita akan lebih peka bahkan menikmati perubahan tersebut sekaligus berhasil mencapai impian- impian yang kita dambakan. Perubahan itu abadi dan kunci suksesnya adalah tetap berpikir dan bersikap positif supaya kita dapat menemukan sesuatu yang baru yang membuat kita semakin sukses dan menyukai kehidupan ini.

disadur dari : http://www.pembelajar.com/

Konflik Perubahan dan Pengembangan Organisasi


oleh : Ayu Diana Sari (F1B006071)

Organisasi mengalami perubahan karena organisasi selalu menghadapi berbagai macam tuntutan kebutuhan. Tuntutan itu timbul sebagai akibat pengaruh lingkungan (eksternal dan internal) organisasi yang selalu berubah.
Untuk menghadapi faktor penyebab perubahan tersebut, organisasi harus dapat menyesuaikan diri dengan pengadakan berbagai perubahan dalam dirinya. Perubahan-perubahan itu tentunya ke arah pengembangan organisasi yang lebih baik. Tujuan perubahan organisasi adalah meningkatkan efisiensi dan produktivitas, meningkatkan kemampuan organisasi dalam menghadapi berbagai faktor yang menyebabkan perubahan organisasi sehingga organisasi mampu bertahan dan berkembang, mengadakan penyesuaian-penyesuaian seperlunya sehubungan dengan perubahan-perubahan tersebut, untuk mengendalikan, khususnya dalam mengendalikan suasana kerja, sehingga anggota organisasi tidak terpengaruhi atas perubahan-perubahan yang sedang berlangsung dan meningkatkan peran organisasi dalam menghadapi perubahan-perubahan yang sedang tejadi atau berlangsung.

Berbicara mengenai perubahan yang direncanakan dalam organisasi berarti menyangkut pengembangan organisasi. Pengembangan organisasi berhubungan dengan suatu strategi, sistem, proses-proses guna menimbulkan perubahan organisasi sesuai dengan rencana, sebagai suatu alat guna menghadapi situasi-situasi yang berubah yang dihadapi oleh organisasi modern dan yang berupaya untuk menyesuaikan diri (mengadaptasi) dengan lingkungan mereka. Teknik-teknik dalam melakukan pengembangan organisasi meliputi latihan labolatorium, latihan manager, grid, feedback survei, pembentukan tim, konsultasi proses, pengembangan karir, desain pekerjaan, manajeman ketegangan dan lain-lain.

Melakukan perubahan ke arah pengembangan organisasi ini, tidak luput dari timbulnya berbagai problem-problem yang justru dapat membahayakan kelangsungan organisasi. Problem pengembangan juga merupakan salah satu problem pelik yang harus dipecahkan oleh para manajer, karena bukan saja organisasi-organisasi perlu dikembangkan, tetapi pula manusia di dalam organisasi tersebut perlu pula diikut sertakan dalam pengembangan organisasi, dalam rangka usaha menghadapi pihak saingan dan tuntutan lingkungan. Salah satu masalah penting yang dapat terjadi dalam perubahan dan pengembangan organisasi adalah konflik. Problem konflik itu tidak dapat dihindari dalam organisasi, dengan kata lain konflik pasti terjadi dalam organisasi karena konflik bersifat alamiah.

Pada umumnya orang beranggapan bahwa konflik itu selalu menimbulkan dampak negative, menunjukan isyarat bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam organisasi atau menunjukan kegagalan manajer mengelola organisasi. Namun sesuai dengan adanya perkembangan ilmu perilaku, pandangan-pandangan itu mulai bergeser. Ternyata ada konflik-konflik tertentu dalam organisasi yang jika dikelola dengan baik, dapat membawa perubahan dan pengembangan bagi organisasi dan organisasi tanpa konflik juga akan menghambat perubahan kearah pengembangan organisasi. Yang menjadi pertanyaan kita ialah konflik yang bagaiamana yang dapat membawa perubahan dalam organisasi? bagaimana pengelolaan konflik sehingga dapat mencapai perubahan ke arah pengembangan organisasi.

Konflik perubahan dan pengembangan organisasi saling berkaitan satu sama lain. Adanya konflik menuntut adanya perubahan dan pengembangan. Perubahan dan pengembangan tidak dapat dilepaskan dari aneka macam konflik. Untuk itu, manajer sangat berperan dalam memanajemenkan konflik yang terjadi dalam organisasi kearah perubahan yang direncanakan.
Untuk memanajemenkan konflik dalam organisasi, setiap manajer harus memahami apa itu konflik dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya konflik. Pemahaman faktor-faktor tersebut akan lebih memudahkan tugasnya dalam hal menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi, dan meyalurkannya ke arah perkembangan yang positif. Di samping itu faktor-faktor yang mengharuskan adanya perubahan maupun pengembangan organisasi, perlu pula diketahui dan dipahami oleh setiap manajer kontemporer, karena perubahan maupun pengembangan merupakan suatu bagian yang inheren dari siklus kelangsungan setiap organisasi. Mempelajari manajemen konflik- perubahan – pengembangan, mengharuskan kita untuk juga memahami aspek-aspek psikologi, dan aspek-aspek sosiologis, di samping aspek-aspek ekonomi yang berkaitan dengannya.

Konflik dalam organisasi bisa bersifat subsantif seperti perbedaan pendapat, tujuan, alokasi sumberdaya tetapi juga konflik bersifat emosional. Konflik-konflik tersebut dapat menimbulkan konflik deskruktif, yang menimbulkan keruguan bagi individu-individu organisasi yang terlibat di dalamnya dan konflik konstruktif, yang justru menimbulkan keuntungan-keuntungan bagi individu-individu yang terlibat di dalamnya.

Ada tiga faktor yang menentukan hasil akhir konflik tertentu akan menjadi konflik disfungsional atau konflik desktuktif ataukah akan menjadi konflik fungsional yang menguntungkan atau tidak bagi organisasi, yaitu intensitas konflik tersebut, struktur organisasi dan kultur, dan bagaimana konflik tersebut dimanajemenkan.

Terdapat tingkat fungsional konflik tinggi, dinama hasil pekerjaan adalah maksimal. Apabila tingkat konflik terlampau banyak atau tinggi dapat mengacaukan organisasi yang bersangkutan dan orang-orang di dalamnya dan disrupsi yang membahayakan kemungkinan-kemungkinan organisasi tersebut untuk bertahan. Demikian pula dengan tingkat konflik yang terlalu rendah, maka organisasi dapat berubah terlampau lamban untuk menghadapi tuntutan baru yang dihadapi dan kelangsungan hidupnya terancam.

Untuk mengopimalkan konflik maka perlu manajemen konflik yang baik. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mamahami situasi konflik. Tipe situasi konflik dapat berupa konflik dalam individu sendiri, konflik antar pribadi/individu, konflik antar kelompok dan konflik antar organisasi. Kemudian mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada baik itu perbedaan-perbedaan tentang fakta, metode, tujuan dan nilai-nilai. Disamping itu kita juga harus memahami tahap-tahap perkembangan konflik. Apakah konflik tersebut hanya dibayangkan, konflik yang dirasakan atau konflik yang memanifestasikan diri, kemudian bisa memasuki tahap pemecahan masalah dan mengasumsi suatu kemenangan, kekalahan atau kompromis.

Namun untuk mengasumsi itu dan melakukan pemecahan masalah, maupun secara umum untuk memajemenkan konflik ke arah pengembangan organisasi tidaklah mudah. Tergantung pada keperibadian orang-orang yang berkonflik dan ciri-ciri hubungan antar perorangan. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah apakah yang menyebabkan orang-orang yang terlibat konflik, mengapa orang berperilaku demikian. Hal ini berarti kita telah mempersoalkan aspek motivasi manusia, mengapa orang berperilaku, hal-hal apa saja yang mendorong atau menggerakan orang berperilaku dengan cara tertentu. Motivasi umumnya didorong oleh adanya keinginan-keinginan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sehingga dapat dikatakan bahwa setiap perilaku mempunyai tujuan.

Perlu diketahui bahwa tidak semua perilaku mempunyai tujuan dan dan dapat dimotivasi. Untuk itu, yang dimaksud dengan perilaku yang dimotivasi yaitu perilaku yang bersifat ”mengatur diri sendiri”, bukan perilaku ”heliotropis” atau perilaku ”refleks-refleks”. Pemahaman manajer terhadap teori-teori motivasi yang mendasari seseorang berperilaku akan sangat bermanfaat dalam memahami perilaku individu maupun memahami bagaimana memotivasi bahawahanya. Teori-teori motivasi yang dimaksud antara lain; teori homeostatis yang dikemukan oleh Freud, teori disonasi kognitif, teori hierakhi kebutuhan, teori kepuasan kerja dan teori-teori tentang motivasi kerja. Sebagai manajer, hal yang bersifat amat fundamental bagi suksesnya setiap rencana guna memotivasi para bawahan adalah tingkat sampai dimana motivator-motivator yang ditujukan memenuhi kebutuhan para bawahan individual untuk siapa motivator-motivator tersebut di rancang.

Untuk manajemen konflik secara efektif, selain dituntut untuk memahami perilaku individu, manajer juga perlu memahami tentang perilaku antar perorangan. Mengingat bahwa manajemen konflik ke arah perubahan dan pengembangan organisasi juga dideterminasi oleh perilaku atau ciri-ciri hubungan antar perorangan. Ciri hubungan perorangan dapat di lukiskan sehubungan dengan adanya kerjasama, konflik, penyesuaian dan reaksi. Manusia mempunyai ciri tipikal yang dinamakan mekanisme psikologis, dengan apa mereka berhubungan dengan lingkungan mereka. Mekanisme ini dapat berfungsi sebagai filter melalui apa seseorang melihat dan memahami kejadian yang timbul dan juga mendeterminasi cara-cara orang berperilaku. Mekanisme psikologis itu antara lain sublimasi, upaya yang meningkat, identifikasi, kompensasi, interpretasi kembali, mengkompromi, melarikan diri dalam aktivitas, resionalisasi, menarik perhatian, pembentukkan reaksi, melarikan diri ke alam fantasi, proyeksi, penarikan diri, represi dan regresi.

Setelah memahami tentang perilaku individu dan hubungan antara perorangan maka dapat dipastikan manajer akan lebih mudah untuk memecahkan masalah konflik yang terjadi dalam organisasi ke arah perubahan dan pengembangan organisasi. Untuk itu, buku ini juga berisikan tentang bentuk-bentuk konflik dalam organisasi, konflik antara garis dan staf, bentuk-bentuk konflik manajemen dengan para karyawan, pendekatan-pendekatan terhadap hubungan antara pihak manajemen dengan staf, bagaimana meminimasi konflik dalam hal bernegosiasi serta bagaimana memanajemenkan konflik dalam organisasi. Ada tiga macam bentuk manajemen konflik yaitu 1) menstimulasi konflik pada unit-unit atau organisasi-organisasi yang hasil pekerjaan mereka tertinggal, dibandingkan dengan standar disebabkan oleh karena tingkat konflik yang terjadi terlalu rendah. 2) mengurangi dan menekankan konflik sewaktu tingkat konflik tersebut terlampau tinggi atau tidak produktif. 3) menyelesaikan konflik (Metode dominasi atau supresi; memaksa, membujuk,menghindari dan keinginan mayoritas, dan metode kompromis dan metode pemecahan problem integratif).

Apabila konflik fungsional telah dimanajemen dengan baik, maka untuk pengembangan organisasi hal tersebut memungkinkan organisasi bersangkutan untuk mencapai cara-cara baru yang lebih baik dan kreatif untuk melaksanakan pekerjaannya. Untuk itu pembahasan berikutnya berisiskan tentang bagaimana memajemankan kreatifitas organisasi. Kreativitas juga memungkinkan organisasi yang bersangkutan untuk mengantisipasi perubahan. Hal tersebut menjadi makin penting sewaktu teknologi-teknologi baru, produk-produk baru dan metode-metode kerja baru menyebabkan hal-hal yang lama menjadi usang. Dalam rangka upaya merangsang manajeman kreativitas, maka manager harus memahami proses kreatif. Kreativitas dapat dirangsang pada seorang individu atau sebuah kelompok dengan jalan menciptakan suatu iklim organisasi yang merangsang penggunaan maksimal dari bakat-bakat atau kemampuan yang ada. Kreativitas dapat dicapai dengan apa yang dinamakan ”hot-water thought sessions. setelah ide-ide diciptakan, kemudian mereka dievaluasi dalam suasana rasional “realitas” yang kadang-kadang dinamakan orang ”cold-water thought sessions. Disini penilaian dinilai untuk mengetahui apakah ide-ide tersebut bersifat praktikal, ekonomikal atau layak pakai. Tempat, arti dan penggunaan kreativitas dalam organisasi-organisasi jelas: sesuatu organisasi bekerja sebaik-baiknya apabila terdapat imbangan tepat antara pemikiran analitik dan pemikiran kreatif. Dengan demikian manajeman kreativitas berarti juga kita melakukan pengembangan organisasi.

disadur dari : http://afia-tahoba.blogspot.com/2007/07/konflik-perubahan-dan-pengembangan.html

Jumat, 06 Juni 2008

Manajemen Perubahan

Oleh : Fajar Shiddiq (F1B006065)

Di lingkungan organisasi(perusahaan) perubahan sistem juga bukan masalah yang mudah. Akan ada sikap penolakan yang mungkin terjadi. Bisa jadi penolakan itu muncul dari manajemen maupun dari karyawan sendiri.

Tidak mudah memang untuk mengubah paradigma seseorang terhadap sesuatu jika tidak dilakukan dengan cermat. Dibutuhkan analisis yang teliti yang kemudian ditindaklanjuti dengan langkah-langkah yang tepat dalam menerapkannya. Pada artikel ini saya akan mencoba melakukan pendekatan teoritis manajemen perubahan sehubungan dengan migrasi sistem operasi dalam suatu organisasi. Dalam pendekatan ini lebih ditekankan sisi psikologis karyawan dalam menghadapi perubahan sistem. Mungkin pendekatan ini tidak terlalu tepat namun paling tidak ada sedikit kaitannya dengan perubahan sistem.

Manusia memang memiliki retensi terhadap perubahan. Ide perubahan bisa ditanggapi dengan reaksi positif maupun negatif. Darryl Conner menyebutkan bahwa ada tahap-tahap yang dilalui orang dalam menanggapi perubahan. Ada siklus positif yang mengarah pada kepuasan dengan perubahan. Ada juga siklus negatif yang berangsur-angsur menghasilkan penerimaan terhadap perubahan. Cukup sulit untuk memprediksi siklus yang mana yang akan terjadi pada individu karena reaksi tersebut tergantung pada kepribadian seseorang.

Siklus Positif:

* Optimisme karena tidak tahu. Keadaan ini berada pada awal upaya perubahan dimana pesimisme rendah dan orang yakin bahwa mereka akan berhasil dalam perubahan.
* Pesimisme karena tahu. Ini terjadi selama proses dimana orang memiliki pengalaman dan mulai tahu kesulitan yang dialami untuk mencapai sasaran.
* Realisme harapan. Ini terjadi setelah beberapa lama menjalani perubahan. Sedikit demi sedikit ada titik terang dan orang mulai berharap akan keberhasilan.
* Optimisme karena tahu. Fase ini terjadi ketika orang dapat melihat perubahan tersebut akan mencapai keberhasilan.
* Akhir. Akhir dari proses yang membawa kepuasan karena memperoleh keberhasilan

Siklus Negatif:

* Immobilisasi. Tahap pertama ini menunjukkan ketidakmampuan melangkah ke depan. Ketika tahu bahwa ada perubahan sistem, banyak orang yang memiliki respon emosi seperti ini dan tidak dapat melangkah maju untuk mendukung perubahan.
* Penolakan. Tahap ini adalah ketika orang berasumsi bahwa inisiatif perubahan ini akan segera berlalu. Ketika organisasi membuat suatu perubahan yang belum menjadi prosedur operasi standar maka akan banyak penolakan jika tidak dikelola dengan baik.
* Kemarahan. Jika penolakan tidak dikelola dengan baik dan perubahan tetap diimplementasikan maka akan timbul puncak respon emosional yang berupa kemarahan yang merupakan hasil dari ketakberdayaan.
* Tawar menawar.Emosi mulai surut ketika orang diberi kesempatan untuk menyuarakan apa yang dihadapinya dan dilibatkan dalam proses perubahan tersebut.
* Depresi. Ketika mereka merasa tak berdaya untuk merubah nasib mereka, ini akan membawa mereka pada rasa jengkel. Hasilnya adalah depresi.
* Pengujian. Ketika mereka menguji kemampuan mereka untuk turut mendukung perubahan, mereka mulai bangkit dari depresi dan tumbuhlah kepercayaan diri sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang baru.
* Penerimaan. Sikap menerima terjadi ketika orang memiliki respon emosi positif terhadap perubahan. Mereka mendukung perubahan itu.

Teori di atas menggambarkan situasi psikologis yang mungkin dialami karyawan jika dilakukan perubahan sistem. Mungkin saja situasi tersebut terjadi pada perusahaan anda dalam upaya migrasi sistem operasi. Dari gambaran di atas mungkin bisa anda lakukan langkah-langkah antisipatif sebelum melaksanakan perubahan sehingga dapat meminimalkan dampak tersebut.

Kegagalan BUKAN dari Segi Teknis

Banyak orang berpendapat bahwa kegagalan dalam perubahan sistem adalah dari segi teknis. Pada kenyataannya, kegagalan itu berasal dari ketidakmampuan dalam mengelola perubahan itu sendiri.

Dengan penerapan sistem yang baru memang banyak hal baru yang perlu dipelajari. Orang terpaksa mengubah kebiasaan yang biasa dilakukan dengan sistem yang lama. Selain itu mereka harus mempelajari bagaimana melakukan sesuatu dengan sistem yang baru. Bagi sebagian orang yang suka mempelajari sesuatu yang baru, ini tidaklah menjadi masalah.

Pengelolaan yang baik yang bertolak dari perencanaan yang cermat dan komprehensif menjadi kunci keberhasilan dalam perubahan. Persiapkanlah dengan hati-hati manajemen perubahan yang akan dilakukan.
Berikut ini adalah empat kunci untuk mengimplementasikan perubahan:

* Jadilah pemimpin yang berstrategi
* Libatkan orang-orang yang tepat
* Bentuk tim yang baik
* Fokuskan sumbedaya yang terlibat pada proses perubahan.


DARI : http://linux.or.id/node/187

Change or Die

OLEH : YUNI PRASETYO (F1B006069)

Lingkungan bisnis akan terus berubah, cepat atau lambat. Perusahaan pun harus adaptif dan antisipatif terhadap perubahan jika ingin bertahan dan memenangkan persaingan. Tentu akan lebih baik bila perubahan yang dilakukan perusahaan Anda menyebabkan perubahan besar di pasar dan kompetensi.

Kita telah sering mendengar ungkapan bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan akan selalu terjadi dalam setiap kehidupan umat manusia, termasuk dalam organisasi. Futurolog Dr. Alvin Toffler dalam bukunya The Adaptive Corporation mengatakan: "Change is not merely necessary for life, it is life". Sejatinya, perubahan adalah hidup itu sendiri. Pemahaman ini menegaskan kepada kita bahwa tidak seorang pun yang resisten terhadap perubahan. Begitu pula organisasi. Ia akan menua, kehilangan relevansi, dan akhirnya mati bila tidak terus diremajakan.

Pakar manajemen dari Harvard Business School Rosabeth Moss Kanter, penulis buku The World Class: Thriving Locally in the Global Economy, mengingatkan perlunya perusahaan untuk adaptif terhadap perubahan. Perusahaan tidak bisa menolak perubahan, namun tidak boleh jatuh dalam revolusi yang pada akhirnya menyakitkan. Perusahaan tidak bisa menghindarkan diri dari perubahan, tak peduli seberapa besar ukuran, sumberdaya, atau keunggulan yang dimiliki pada saat itu.

A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting, menegaskan betapa perubahan harus terus dilakukan oleh perusahaan besar yang memimpin di pasar; terlebih bagi perusahaan yang tidak bertumbuh, mengalami kerugian, ataupun kehilangan pangsa pasar. "Yang penting arah perubahan yang diinginkan benar-benar sudah tepat," tegasnya.

Begitu banyak organisasi bisnis raksasa yang mati karena tidak bisa membuat perubahan pada waktu yang tepat. Nama nama besar pada jamannya seperti Sears Roebuck, Zenith, Ames, Westinghouse, McDonel Douglas, dan Burroughs kini tinggal kenangan. Sepeninggal sang pendiri, perusahaan - perusahaan tersebut gamang menghadapi perubahan dan ditelan oleh persaingan. "Kebanyakan perusahaan justru melakukan perubahan setelah kondisinya sulit," ungkap Dr. Renald Kasali, pakar manajemen dari UI penulis buku Change.

Dalam dunia bisnis, perubahan terjadi hampir setiap saat karena lingkungan bisnis jauh lebih dinamis dibandingkan lingkungan organisasi lainnya. Perubahan tersebut didorong oleh berbagai hal, seperti tuntutan konsumen dan kompetisi, regulasi teknologi, pergerakan pasar, strategi baru, kehadiran manajemen baru, kondisi makro ekonomi-politik, dan sebagainya. Meningkatnya dinamika bisnis menyebabkan tekanan terhadap perubahan perusahaan juga meningkat. Repotnya, sebagian besar penyebab perubahan berasal dari lingkungan eksternal, dan oleh karena itu tidak bisa dikontrol sepenuhnya oleh perusahaan. Salah satu contoh adalah krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia 1997/1998.

"Perusahaan hanya bisa mengontrol sebatas lingkungan internal," tukas Budi Setiadharma, CEO PT. Astra International Tbk. Ia menilai, krisis ekonomi sebagai perubahan yang relatif terjadi dalam waktu cepat dan tiba-tiba. "Kalau kami tidak melakukan perubahan dengan cepat, pasti perusahaan menanggung beban yang berat," tambahnya.

Perubahan terjadi dalam berbagai bentuk dan cakupan�- kecil, menengah, dan besar. Perubahan bisa saja hanya terjadi pada level individu, bisa pula di level organisasi, namun bisa pula dalam konteks keseluruhan dari perusahaan. Hal terakhir bisa terjadi karena perusahaan merubah fokus dan strategi bisnis sehingga mengharuskan pula mengubah sistem nilai, budaya perusahaan, kompetensi karyawan, sistem penilaian kinerja, dan seterusnya.

Telkom, menurut Change Managerent Manager Telkom Divre II Jakarta, Puguh Harianto, melakukan perubahan terhadap 4 komponen sebagai ruang lingkup perubahan: sumber daya manusia (SDM) / organisasi, budaya korporasi, proses bisnis, dan teknologi informasi. SDM / organisasi yang lincah dan fleksibel diperlukan untuk menghadapi perubahan maupun dalam melakukan perubahan itu sendiri. Budaya perusahaan yang kuat dapat melindungi perusahaan dari terpaan perubahan lingkungan, tidak mudah goyah. Kalaupun terjadi perubahan, hal itu dilakukan dengan cara yang mantap. Proses bisnis sangat diperlukan agar perubahan yang dilakukan masih tetap dalam koridor arah perusahaan. Sementara keberadaan teknologi informasi mutlak diperlukan bagi perusahaan yang ingin tetap eksis di tengah-tengah lingkungan yang cepat berubah.

Membangun Kultur Perubahan

Banyak perusahaan yang mencoba beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Tetapi, di era yang serba instant saat ini, tindakan seperti itu dianggap tidak lagi memadai. Tindakan beradaptasi lebih tepat ditujukan bagi perusahaan yang terlambat merespons perubahan dan dipaksa untuk melakukan penyesuaian. Yang dibutuhkan adalah menjadikan perubahan sebagai bagian integrasi dari sistem manajemen perusahaan. Dengan demikian, sistem menggerakkan seluruh jajaran untuk terus melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Tidak hanya itu, perusahaan mampu menentukan perubahan yang berdampak luas terhadap lingkungan bisnis. Inilah yang dilakukan Grup Astra dengan memacu upaya peningkatan dan inovasi di setiap perusahaan atau unit bisnis setiap saat.

Semangat perubahan itu memang banyak diinspirasikan oleh filosofi kaizen (continous improvement) yang telah diterapkan Astra sejak awal 80-an. Semangat tersebut dikembangkan lebih lanjut dengan menerapkan Astra Management System tahun 2001 dalam upaya Astra menjadi excellent company. Semenjak itu, manajemen Astra terus mengembangkan budaya dan semangat strive for excellence. Berkat semangat tersebut, di antaranya, waktu untuk penyelesaian satu sepeda motor Honda kini menjadi 16 detik dibandingkan prestasi sebelumnya 60 detik.

Hasil yang lebih besar terlihat dengan keberhasilan Astra mencatat prestasi fenomenal dalam beberapa tahun terakhir: sukses meluncurkan mobil Xenia dan Avanza di segmen pasar yang sama sekali baru, meraih banyak penghargaan nasional dan internasional di berbagai bidang, dan lebih penting lagi mencapai rekor penjualan serta laba bersih pada tahun 2004. Pinjaman Astra per 31 Maret 2005 seluruhnya lunas terbayar, padahal tahun 2000 total pinjaman Astra mencapai rekor Rp 17,8 triliun.

"Manajemen perubahan bukanlah sesuatu yangterjadi dalam waktu tertentu saja. la harus merupakan proses yang berkesinambungan," ungkap SA Santoso, konsultan Mercer Recource Consulting. Perubahan diperlukan untuk menghindari perusahaan dari kebekuan. Mengapa? "Karena perusahaan ibarat air yang diupayakan terus mengalir, sehingga setiap organisasi atau perusahaan selalu berusaha dalam kondisi cair."

Dalam istilah Alpin Ginting, Senior Management Consultant OTI Organisasi Transformasi Lintas Internasional, perubahan bukanlah sebuah program. Sebab, kalau seperti itu, perubahan hanya bersifat sesaat yang suatu saat akan berhenti. Padahal, menurut Alpin, perubahan adalah bagian dari manajemen organisasi sehingga harus terus mengalir. "Karena pasar yang dipengaruhi banyak faktor senantiasa berubah," katanya.

Pentingnya perubahan seharusnya membuat perusahaan menjadikan perubahan sebagai nilai utamanya. Menurut Alpin, pemahaman ini mengandung arti, perubahan tidak pernah memberikan hasil terbaik, tetapi senantiasa untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Kalau dikatakan sebagai hasil terbaik, lanjutnya, setelah itu tidak ada kegiatan perbaikan lagi.

PT Federal International Finance (FIF), anak perusahaan Astra yang bergerak di bidang pembiayaan sepeda motor, adalah satu dari sedikit perusahaan di Indone-sia yang menjadikan Change sebagai salah satu karakter perusahaan. "Seluruh karyawan perusahaan harus mencintai perubahan, jangan resisten terhadap perubahan," ungkap Ida P. Lunardi, Presiden Direktur FIF. Perusahaan memiliki karakter 5 C, yaitu Creative, Courageous, Change, Commitment, dan Care.

Strategi Perubahan

Banyak alat bantu (tools) manajemen yang bisa dipakai untuk memacu perubahan dalam perusahaan, seperti 7S Mc Kinsey, BCG Matrix, Benchmarking, Brain-storming, Business Process Reengineering, Six Sigma, GE-McKinsey Matrix, Porter Five Forces, Statistical Process Control, SWOT Analysis, PEST Analysis, Value Chain Analysis, dan sebagainya. Perusahaan bisa memakai satu atau lebih alat bantu tersebut dalam menentukan arah dan proses perubahan.

Faktor kritikal perubahan menyangkut manusia. Kegagalan melakukan perubahan lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia ketimbang faktor teknis. Perubahan harus dikelola secara baik karena kegagalan melakukan perubahan menimbulkan dampak besar bagi perusahaan dan karyawan.

Ada beberapa langkah yang harus ditempuh perusahaan agar setiap karyawan menerima perubahan. Perusahaan spesialis perubahan Prosci membagi perubahan dalam 3 fase (fase persiapan perubahan, fase mengelola perubahan, dan fase mendayagunakan perubahan). Fase persiapan perubahan mencakup penetapan strategi manajemen perubahan, memper-siapkan tim manajemen perubahan, dan mengembangkan model sponsor. Faktor sponsor perubahan ini sangat penting, karena merekalah motor dan agen perubahan dalam perusahaan.

Dalam fase mengelola perubahan, perusahaan mengembangkan rencana manajemen perubahan dan mengimplementasikan rencana perubahan. Sedangkan fase mendayagunakan perubahan meliputi langkah untuk mengumpulkan dan menganalisis masukan, mendiagnosa gap dan mengelola orang / kelompok yang resisten, dan mengadakan langkah koreksi dan merayakan keberhasilan dalam melakukan perubahan.

"Perubahan membutuhkan dukugan penuh dari manajemen puncak," ujar Daisy M.E. Suhari, Kepala Divisi Pengelolaan SDM PT Infomedia Nusantara. Hal ini berdasarkan pengalaman Daisy di Infomedia. Sejak akhir 2003, Infomedia memutuskan untuk melakukan transformasi bisnis dan organisasi sejalan dengan strategi perusahaan untuk mengembangkan 2 pilar bisnis baru (Contact Center dan Content Provider),di samping pilar bisnis lama Buku Petunjuk Telepon (dulu Yellow Pages). Dari sisi sumber daya manusia, Infomedia mengubah sistem manajemennya menjadi Competency Based Human Resources Management (CBHRM). "Tanpa dukungan penuh manajemen puncak, perubahan sulit terlaksana," ujarnya serius.

Almarhum Sam Walton, pendiri raksasa ritel Wal-Mart, bisa menjadi contoh eksekutif puncak yang begitu komit dan terlibat terhadap perubahan Walton dikenal sebagai eksekutif yang mementingkan perubahan, eksperimen, dan peningkatan secara konstan. Ia tidak hanya asal omong, tetapi membangun mekanisme organisasi yang kongkrit : untuk mendorong perubahan dan peningkatan. Menggunakan konsep "A Store Within a Store", Walton memberi manajer departemen otoritas dan kebebasan untuk menjalankan departemennya selayaknya usaha sendiri. Ia membuat insentif tunai dan pengakuan publik terhadap associates yang berkontribusi terhadap penghematan biaya dan / atau ide peningkatan layanan yang bisa dikembangkan di toko lain. Hingga kini Wal-Mart terus berjaya dan menjadikan keempat anaknya sebagai orang-orang terkaya Amerika (lihat rubrik Wacana, red).

Kecuali itu, menurut Human Capital Director PT Excelcomiodo Pratama Joris de Fretes, faktor komunikasi memainkan peran penting untuk keberhasilan sebuah perubahan. Perusahaan bisa menggunakan berbagai media internal (papan pengumuman, website, majalah internal, dan video conference) ataupun forum khusus untuk mengkomunikasikan perubahan tersebut. Untuk mempercepat proses perubahan, perusahaan juga harus menetapkan Agen Perubahan (Change Agent)�- orang-orang yang akan menjadi motor perubahan di lingkungannya.
Pada akhirnya, seperti ditulis Thomas J. Peters dan Robert Waterman Jr. dalam bukunya yang terkenal In Search of Excelence, hanya perusahaan yang ekselenlah yang akan menang dalam persaingan.

Disadur dari : http://www.portalhr.com/majalah/edisisebelumnya/strategi/1id238.html

CIRCLE OF DEATH : Gagalnya Perusahaan Membaca Sinyal Perubahan

Artikel
Oleh : Ahmad Najib (F1B006066)

Badai topan yang menghajar ekonomi Indonesia sejak awal Juli 1997 sampai sekarang terlampau dahsyat. Fenomena yang menarik untuk dikaji dari krisis ini adalah bertumbangnya sejumlah perusahaan konglomerasi yang selama ini diyakini tidak bakal ambruk.
Efek domino yang terjadi dari hantaman akumulasi masalah eksternal yang ada telah memporak-porandakan dunia usaha.
Kondisi lingkungan usaha menjadi semakin sulit diprediksi secara linier, karena memang fenomena linieritas sudah tidak ada lagi di dalam lingkungan bisnis yang semakin ganas. Penetrasi variable eksternal kedalam sistem organisasi perusahaan, hanya mungkin ditanggapi dengan baik bila pengelolaan usaha tidak lagi ada dasar business as usual.
Mempertahankan diri untuk tetap exist dan survive dalam lingkungan usaha yang bergejolak saat ini bukan persoalan mudah. Menurut De Geus, pakar Strategic Management dan Bisnis Internasional dari London Business School setidaknya ada dua alas an mengapa perusahaan yang ada kini tidak mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Pertama, perusahaan-perusahaan tersebut di tengah dinamisnya perubahan tidak mampu membaca, menangkap, dan mengidentifikasi sinyal-sinyal perubahan. Oleh karena itu ketika perubahan itu benar-benar terjadi, mereka tak siap menghadapinya karena struktur internalnya memang terlambat dan tak mampu melakukan penyesuaian.
Perusahaan-perusahaan tersebut bubar dan berakhir karena pihak manajemen perusahaan-perusahaan tersebut hanya memfokuskan diri dan terbelenggu secara sempit pada bahasa dan pemikiran ekonomi belaka.
Manajemen hanya memfokuskan diri pada aktivitas memproduksi barang dan jasa dengan kombinasi optimal faktor produksi yang dimiliki demi tercapainya keuntungan yang maksimal, tetapi melupakan esensi hakiki perusahaan sebagai komunitas manusia.
Gagal Membaca Sinyal Perubahan
Bubarnya perusahaan akibat ketidakmampuan menangkap sinyal perubahan seakan mendapat justifikasi ketika Collins dan Porras (1994) dari Stanford University membeberkan hasil penelitian mereka terhadap 700 perusahaan besar di Amerika sepanjang tahun 1988 - 1994. perusahaan-perusahaan yang mampu bertahan hidup dan berusia sepuh menurut mereka rata-rata sensitive dan adaptif terhadap perubahan lingkungan. Mereka selalu merubah diri mendahului perubahan. Sehingga ketika terjadi gejolak eksternal, struktur internal perusahaan mampu menyesuaikan diri bahkan mampu memanfaatkan perubahan yang terjadi. Dengan bahasa yang lebih sederhana, perusahaan-perusahaan tersebut mampu membaca, mengidentifikasi, dan menangkap sinyal perubahan lebih cepat sehingga tanggap akan konsekuensi yang ditimbulkannya.
Pertanyaan kemudian, mengapa di tengah kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan akses ke berbagai saluran informasi, manajemen perusahaan kemudian tak mampu membaca, menangkap, dan mengidentifikasi sinyal perubahan?
Menurut De Geus, gagalnya perusahaan membaca, menangkap, dan mengidentifikasi perubahan setidaknya disebabkan oleh tiga alasan.
Pertama, karena hakekat perusahaan sesungguhnya merupakan kumpulan manusia, maka secara psikologis manusia sendiri memang punya resistensi untuk berubah. Ini sebagaimana diungkapkan para psikologis yang sebenarnya merupakan sesuatu hal yang positif. One should not change for change sake, kita tak harus berubah karena sebuah perubahan.
Kedua, sinyal perubahan tak terbaca dan teridentifikasi karena perusahaan memang belum terbiasa dan belum berpengalaman terhadap gejala perubahan itu sendiri. They can not see what their mind have not experiented before!
Cerita tentang kepala suku di Malaysia pada awal abad 20 ini mungkin bisa menjadi ilustrasi yang menarik untuk hal ini.
Pada awal abad 20 ini, ketika penjelajah dan penjajah Inggris menjejakkan kaki pertama kali ke Malaysia, mereka bertemu dengan sebuah suku yang sangat primitif di sebuah pegunungan di Malaysia. Saking terbelakangnya suku ini, dalam kehidupannya mereka masih belum mengenal roda. Mereka sepertinya masih hidup di zaman batu.
Para penjelajah Inggris ini kemudian berkenalan dengan kepala sukunya, dan setelah cukup lama berinteraksi mereka menyimpulkan bahwa si kepala suku ini adalah seorang yang sangat cerdas dan bisa diharapkan untuk menjadi agen perubahan bagi masyarakatnya. Untuk itu, para penjelajah Inggris ini kemudian membawa si Kepala suku ini ke Singapura yang waktu itu secara teknologi, ekonomi dan social sudah relatif maju dan diperkenalkan dengan berbagai kemajuan di sana.
Selama 24 jam si kepala suku ini di ajak berkeliling, berziarah, dan bersilahturrahim ke berbagai tempat. Ia dibawa berkeliling ke pelabuhan, ke galangan kapal, ke pasar, ke tempat-tempat hiburan, ke pabrik-pabrik dan ke berbagai tempat lainnya. Setelah lelah berkeliling merekapun memutuskan kembali ke daerah si kepala suku ini.
Setelah melakukan semacam briefing, para penjelajah Inggris kemudian menanyakan kepada si kepala suku Malaysia ini tentang apa saja yang menarik perhatiannya di Singapura yang kira-kira bisa dikembangkan untuk kemajuan daerahnya. Si kepala suku inipun menjawab bahwa hal yang paling menarik perhatiannya di Singapura adalah bahwa orang-orang Singapura mampu mengangkat pisang lebih banyak dari orang-orang di kampungnya! Kalau orang di kampungnya hanya mampu mengangkat setandan pisang dan meletakkan di punggungnya, orang-orang Singapura ternyata mampu mengangkat banyak pisang sekaligus dengan menggunakan gerobak dan kereta!
Si kepala suku yang cerdas ini telah diajak menziarahi berbagai sinyal perubahan. Ia diajak ke pelabuhan, ke galangan kapal, tempat-tempat hiburan, iapun diajak ke berbagai pabrik dan berbagai tempat lainnya, tapi ia tak mampu menangkap dan 'melihat' berbagai sinyal perubahan tersebut karena pikiran dan emosinya memang belum berpengalaman terhadap berbagai sinyal perubahan itu. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika yang "terlihat", tertangkap dan teridentifikasi kemudian adalah bagaimana orang Singapura mengangkat pisang, karena memang pikiran dan emosinya sudah terbiasa dan punya pengalaman tentang masalah bagaimana mengangkat pisang ini. He can not see what his mind has not experienced before ! Ia tak mampu melihat sesuatu yang lain yang dirinya secara emosional dan pemikiran memang belum terbiasa.
Cerita tentang kepala suku ini memang layak untuk direnungkan, karena dalam konteks perusahaan, banyak sekali perusahaan yang gagal membaca dan menangkap sinyal perubahan karena secara emosi dan pikiran mereka memang belum terbiasa dengan berbagai sinyal perubahan yang ada. Kemajuan teknologi informasi, fluktuasi pasar modal, perubahan nilai kurs dan banyak fenomina ekonomi lainnya masih merupakan hal "baru" bagi banyak perusahaan. Tidaklah mengherankan jika berbagai hal baru tersebut mereka hadapi, mereka kemudian gagap menghadapinya.
Betapa banyak pimpinan perusahaan duduk begitu angkuh di ruangannya tanpa menyadari bahwa lingkungan tempat perusahaan mereka beroperasi kini sudah berubah. Perubahan yang dialami bukan hanya perubahan gradual tetapi lingkungan operasi perusahaan sudah berubah secara total. "Buta"-nya banyak pimpinan perusahaan terhadap pemanfaatan teknologi informasi seperti internet misalnya bisa dijadikan contoh kongkret. Padahal seperti dikemukakan Hamill (1997) adanya internet telah mengubah perspektif eksekutif terhadap lingkungan bisnis yang begitu dinamis dan turbulen. Karenanya tidaklah mengherankan jika strategi sukses hari ini, bisa jadi bumerang dan bencana untuk esok hari akibat ketidakmampuan menyibak dan membaca tanda-tanda perubahan.
Ketiga, kegagalan perusahaan menangkap sinyal perubahan karena memory of the future dari banyak perusahaan memang tidak terlatih untuk membuat dan menyimpan berbagai alternatif tindakan. Manajemen perusahaan sudah sangat terbiasa dengan pola piker mekanis dengan menganut pemikiran manajemen rationalist dimana arah perusahaan seakan mudah ditentukan berdasarkan hasil analisa lingkungan (SWOT).
Agenda Reformasi
Mengamati bertumbangnya perusahaan belakangan ini, memberikan sinyal mengenai bagaimana manajemen perusahaan selama ini hanya mempersepsikan perusahaan sebagai mesin ekonomi belaka. Manajemen hanya memfokuskan diri pada upaya mengejar pertumbuhan semata-mata dengan kombinasi optimal faktor produksi dan melupakan esensi hakiki perusahaan sebagai komunitas manusia. Oleh karena itu diperlukan suatu agenda reformasi bagi manajemen perusahaan pasca krisis.
Pertama,orientasi manajemen perusahaan harus berubah. Jika keadaan perusahaan masih harmonis dengan keadaan lingkungannya maka tugas utama manajemen adalah berusaha terus mengejar laba untuk kemudian tumbuh menjadi besar. Esensi manajemen dalam konteks ini adalah alokasi efektif dari sumberdaya yang dimiliki perusahaan kepada tempat-tempat yang memungkinkan munculnya maksimasi keuntungan.
Akan tetapi jika yang sebaliknya terjadi, dimana keadaan lingkungan menjadi sangat bergejolak atau tercipta keadaan krisis dan resesi seperti saat ini, kebijakan manajemen perusahaan harus bergeser secara mendasar, dari memburu keuntungan untuk tumbuh, menjadi bagaimana menyelamatkan diri untuk tetap exist dan survive. Seperti dipertegas oleh Ackoff ; profit is just like oxygen, we need for life! Keuntungan tetap diburu, tetapi keuntungan tersebut bukan merupakan raison d'etre dari manajemen perusahaan. Tujuan hakiki perusahaan tetap saja untuk mempertahankan hidup agar mampu bertahan lebih lama.
Kedua, manajemen perusahaan harus memandang perusahaan tidak lagi sebagai mesin ekonomi belaka yang hanya berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa demi maksimisasi keuntungan segelintir pemilik perusahaan. Manajemen perusahaan harus memandang perusahaan sebagai suatu 'entitas hidup' yang menyediakan banyak ruang bagi manajemen untuk berimprovisasi.
Realitas yang ada memang menunjukkan bahwa manajemen perusahaan tidaklah sesederhana mesin yang dengan mudah dioperasikan dan dikendalikan dengan manual yang telah dibuat dan disepakati. Perusahaan sesungguhnya adalah kumpulan manusia yang senantiasa terus belajar dan beradaptasi. Dan kemampuan untuk belajar dan beradaptasi ini sesungguhnya hanya dimiliki oleh sesuatu yang 'hidup', sesuatu yang mempunyai jiwa. Dan jika melihat faktor produksi yang dimiliki perusahaan, hanya labour atau manusia yang hidup dan memiliki jiwa. Dengan kata lain faktor labour atau manusia kini harus dilihat sebagai faktor produksi yang dominan, sehingga kalau terjadi krisis atau resesi seperti sekarang ini, labour atau manusia ini tidak harus menjadi yang pertama dan utama yang harus dikorbankan oleh manajemen perusahaan.
Masih banyaknya PHK akibat adanya resesi atau krisis seakan menjadi bukti bahwa labour atau manusia memang masih menjadi faktor produksi yang marjinal dibandingkan capital. Padahal seperti dikemukakan Peter Drucker, era capital ini sudah berlalu dan digantikan oleh era knowledge society, era yang lebih menghargai manusia dibandingkan modal.
Selain itu, mempersepsikan perusahaan sebagai mesin berarti manajemen perusahaan melihatnya sebagai sesuatu yang statis. Hanya bisa berubah jika seseorang merubahnya. Mesin tak mungkin merubah dirinya sendiri. Sedangkan melihat perusahaan sebagai suatu entitas yang hidup, berarti melihatnya seperti air yang mengalir, sesuatu yang senantiasa beradaptasi untuk memperbaiki dirinya.
Dengan menganggap bahwa perusahaan sebagai suatu entitas yang hidup juga akan memunculkan kesadaran kepada manajemen perusahaan bahwa tak selamanya "kehidupan" perusahaan senantiasa bahagia dan berjalan mulus. Sebagaimana kehidupan manusia, suka dan duka adalah sesuatu yang datang silih berganti dan menjadi bagian dari kehidupan. Oleh karena itu jika terjadi kerugian dan "goncangan" perusahaan tak lantas panik dan gagap, karena memang esensi kehidupan memang demikian adanya. Menganggap perusahaan sebagai mesin ekonomi belaka, memungkinkan manajemen perusahaan bertindak pragmatis untuk mengejar dan mempertahankan suka, padahal sesungguhnya suka tersebut sedang mendendangkan lonceng kematian. Duka kadangkala memang dibutuhkan, karena memang duka membuat kita menjadi lebih sabar sehingga kuat dan mampu bertahan hidup lebih lama.
Ketiga, agar perusahaan tetap exist dan survive maka manajemen perusahaan harus memiliki memory of the future yang lebih banyak dan varitif. Oleh karena itu paradigma manajemen rationalist yang kini banyak diterapkan oleh manajemen perusahaan sudah saatnya digantikan dengan paradigma manajemen processual.
Pola pikir rationalist yang sangat mengandalkan analisa lingkungan, menentukan arah dan cetak biru perusahaan, kemudian melakukan formulasi dan implementasi strategi kini tidak lagi relevan untuk dijadikan satu-satunya pegangan. Lingkungan bisnis kini sudah berubah dengan sangat dramatis sehingga pola pikir processual yang mengandalkan scenario planning dan menyediakan banyak alternatif tindakan memang semakin masuk akal untuk diterapkan.
Akhirnya, apapun yang akan dilakukan manajemen perusahaan dalam kondisi krisis dan resesi seperti sekarang ini sangat tergantung kepada resisten tidaknya manusia-manusia yang terlibat dalam manajemen perusahaan untuk berubah. Jika orientasi manajemen adalah berusaha terus mengejar laba untuk kemudian tumbuh menjadi besar, resisten untuk berubah memang masih masuk akal. Tetapi jika orientasi manajemen perusahaan berubah dari mengejar laba untuk tumbuh besar menjadi menyelamatkan diri untuk tetap exist dan survive, perubahan memang menjadi sesuatu yang sulit untuk dihindarkan. Dan situasi krisis dan resesi seperti sekarang ini memang mau tidak mau "memaksa" mereka untuk melakukan perubahan. Dan mudah-mudahan perubahan ini menjadikan kinerja perusahaan menjadi lebih baik sehingga kuat bertahan dan dapat hidup lebih panjang.

diambil dari http://www.zulkieflimansyah.com/in/circle-of-death-gagalnya-perusahaan-membaca-sinyal-perubahan.html

Selasa, 03 Juni 2008

ARTIKEL

STRUKTUR ORGANISASI UNTUK HARMONISASI FUNGSI DEPKES
DAN DINAS KESEHATAN DI INDONESIA

Oleh : Euis Aenilawati (F1B006062)

Organisasi hidup dalam lingkungan yang selalu berubah, dimana kelangsungan hidup organisasi tergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan dari faktor lingkungan tersebut. Organisasi yang mampu beradaptasi dengan tuntutan permintaan dan mengisi peluang yang ada akan mampu untuk hidup terus dan berkembang.
Lingkungan keorganisasian terus menerus berubah dan organisasi yang bersangkutan perlu mengadakan perubahan-perubahan agar dapat bertahan. Perubahan keorganisasian (organizational change) merupakan tindakan beralihnya sesuatu organsiasi dari kondisi yang berlaku kini menuju ke kondisi masa yang akan datang yang diinginkan guna meningkatkan efektivitasnya.
Tujuan dari setiap langkah-langkah perubahan adalah mempertahankan dan memperbaiki kehidupan. Berubah artinya beradaptasi, menyesuaikan diri dan menjadi lebih berdaya untuk mempertahankan dan memperbaiki kehidupan kita di masa yang akan datang. Perlu diingatkan bahwa tidak semua perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi yang lebih baik, hingga dalam hal demikian tentu perlu diupayakan agar bila dimungkinkan perubahan diarahkan ke hal yang lebih baik dibandingkan kondsi sebelumnya.
Proses perubahan harus dilakukan oleh seluruh komponen organisasi, bangsa dan negara, tidak bisa hanya dilakukan oleh salah satu komponen saja. Dan sektor publik sebagai salah satu komponen yang paling besar yang ada di suatu bangsa dan negara merupakan komponen yang harus paling giat, paling bersemangat dan paling cepat melakukan perubahan tersebut.
Perkembangan tekhnologi terutama tekhnologi informasi dan komunikasi membuat dunia ini menjadi semakin terbuka. Suatu dunia yang terus bergerak maju dengan cepat. Suatu dunia yang terus mengalami perubahan. Sehingga setiap orang, organisasi bahkan negara yang berada didalamnya harus bisa mengikuti perubahan tersebut agar tetap dapat bertahan dari terjangan pusaran perubahan.
Beberapa dekade terakhir diberbagai belahan dunia, berbagai pihak telah menyuarakan tuntutan perubahan struktur dalam organisasi sektor publik. Di berbagai negara, masyarakat meminta agar pemerintahannya dapat lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya dengan lebih memperhatikan kepentingan publik melalui pengelolaan organisasi pemerintahan yang lebih baik lagi.
Fungsi organisasi-organisasi seperti Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Indonesia telah berubah sejak pelaksanaan Desentralisasi 7 tahun yang lalu. Secara normatif, tugas pokok dan fungsi masing-masing organisasi telah berubah. Perubahan ini diekspresikan melalui perubahan struktur organisasi yang mengakomodasi perubahan fungsi tersebut.
Terbitnya PP No. 38/2007 dan PP No. 41/2007 menegaskan perubahan fungsi organisasi-organisasi tersebut. Kedua Peraturan Pemerintah ini telah membagi habis kewajiban, tugas dan wewenang. Departemen Kesehatan sampai dengan Dinas kesehatan Kabupaten/Kota serta memberikan panduan mengenai konfigurasi organisasi yang dapat menampung berbagai kewajiban, tugas dan wewenang tersebut.
Fungsi organisasi-organisasi di Departemen dan Dinas Kesehatan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan yang diekspresikan melalui perubahan struktur organisasi. Terbitnya PP No. 38/2007 dan PP No. 41/2007 menegaskan perubahan fungsi organisasi-organisasi tersebut. Keluarnya PP No. 38 tahun 2007 dan PP No. 41 tahun 2007 ini membuka upaya untuk harmonisasi struktur mulai dari level pusat sampai dengan level kab/kota.
Dengan menggunakan pendekatan konkuren PP 38/ 2007 membagi habis urusan antara pemerintah pusat, provinsi, kab/kota. Dimana arti konkuren disini adalah setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan yang dijabarkan oleh PP 38 tahun 2007 ini, antara pemerintah pusat, provinsi dan kab/kota sebagai dasar dalam restrukturisasi organisasi dinas kesehatan harus melihat fungsi dari Departemen Kesehatan dan Dinas Kesehatan terlebih dahulu. Sehingga struktur yang disusun ini adalah “….Struktur mengikuti Fungsi”.
Dengan sifat konkuren ini maka fungsi pemerintah dibidang kesehatan akan dibagi habis oleh pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota sehingga diharapkan tidak ada overlapping atau blank-spot. Sebagai bahan perbandingan dalam melihat harmonisasi struktur ini yaitu dalam hal perijinan. Contoh riil disini adalah Perijinan RS Hasan Sadikin yang diatur oleh PP 38 tahun 2007 diberikan oleh pemerintah (pusat).
Namun dengan asas akuntabilitas dan efisiensi, RS ini harus memintakan rekomendasi dari Dinkes Kota Bandung. Logikanya adalah jika terjadi kegagalan sistem limbah misalnya, maka yang akan terkena dampaknya adalah masyarakat Kota Bandung, bukan warga Ibukota Jakarta. Dengan adanya fungsi pengawasan rumah sakit yang baru, maka diharapkan struktur Dinas Kesehatan Kota Bandung berubah, juga di DinKes Propinsi dan Departemen Kesehatan. Dengan demikian ada harmonisasi fungsi dan struktur.
Tanpa ada perubahan struktur organisasi di Departemen Kesehatan, akan dibayangkan terjadi kesulitan untuk harmonisasi fungsi dan struktur. Dapat dibayangkan membangun bangunan 3 lantai, terjadi harmonisasi fungsi dan struktur di lantai 1 dan 2, namun struktur di lantai 3 tidak dilakukan penyesuaian. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji karena terjadi pengalaman sejarah dimana pada saat pelaksanaan UU 22/1999, di daerah terjadi perubahan radikal struktur organisasi.
Kantor Wilayah Departemen Kesehatan di Propinsi dan Kantor Departemen Kesehatan di Kabupaten/Kota dihapuskan, atau dimerger ke Dinas Kesehatan Pemerintah daerah. Sementara itu sejarah menunjukkan bahwa struktur organisasi Departemen Kesehatan masih relatif sama dengan apa yang ada sebelum desentralisasi kesehatan. Unit Desentralisasi Kesehatan di Departemen Kesehatan bukan sebuah unit yang mempunyai nilai eksekutif. Mengapa relatif struktur organisasi Departemen Kesehatan tidak berubah selama ini? Hal ini dapat dibandingkan dengan di Filipina. Pasca kebijakan Desentralisasi, struktur organisasi Departemen Kesehatan di Filipina sudah ada pemisahan antara fungsi sebagai regulator dan operator. Struktur Depkes Filipina mencerminkan perubahan yang signifikan. Ada pemisahan antara fungsi regulator dan operator di pemerintah. Di Departemen Kesehatan, Health Regulation menjadi salah satu unit strategis.
Disamping itu dikenal juga unit yang berhubungan dengan pihak-pihak luar dan pemerintah daerah. Pada intinya di Filipina terjadi perubahan struktur organisasi Departemen Kesehatan yang signifikan sementara di Indonesia belum terjadi. Disadari bahwa tidak mungkin struktur Departemen Kesehatan akan berubah pada tahun 2008. Disamping itu pada tahun 2009 akan terjadi Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden. Dengan demikian perspektif penelitian struktur organisasi lembaga di sektor kesehatan (khususnya Departemen Kesehatan) diharapkan dapat dipergunakan untuk perubahan di tahun 2009 atau 2010.
Naskah akademik-pun untuk struktur ini sudah jadi dan diterima oleh Pemda, namun Dinkes yang merancang usulan struktur ini belum melihat hakekat dari PP No. 38 tahun 2007 dan PP No. 41 Tahun 2007. Depkes akan mencoba mencarikan sumber daya dan pedoman untuk re-strukturisasi organisasi: Diharapkan yang utama dalam menyusun struktur organisasi ini adalah kita tidak keluar dari aturan hukum yang ada (PP); untuk kreatifitas desain penyusunan struktur adalah tergantung dari kebutuhan dan kreatifitas dari daerah tapi lebih ditekankan pada persamaan persepsi dan potensi daerah. Karena di dalam potensi ada maksud tersembunyi berupa strategi.
Di dalam PP digariskan bahwa untuk struktur organisasi dibatasi oleh 4 (empat) bidang dan 3 (tiga) seksi. ”Struktur itu dinamis, kalau perlu struktur dapat berubah setiap dibutuhkan perubahan”. Karena berfikir struktur dinamis, pastilah sering terjadi konflik dalam organisasi. Untuk itu perlu pula difikirkan suatu unit yang akan menangani konflik lintas organisasi. Hal ini yang belum terfikirkan oleh siapapun. Sektor kesehatan merupakan sektor yang ter-Desentralisasi. UU No. 32 tahun 2004 menegaskan kembali untuk seluruh elemen bangsa bahwa sektor kesehatan merupakan sektor yang terdesentralisasi. Mau tidak mau harus dilakukan kebijakan dan strategi pelaksanaannya. Masalah harmonisasi fungsi dan struktur ini menjadi salah satu dampak praktis kebijakan ini.
Depkes masih mengurusi urusan di daerah. Kewenangan Depkes yang tidak ada di desentralisasi adalah hal-hal yang bersifat cito dan atau emergency. Namun hal-hal yang bersifat elektif dapat di desentralisasi. Contohnya: Mengenai Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular atau surveilans merupakan sentralisasi. Berbeda dengan Pengelolaan haji sifatnya sentralisasi namun penyelenggaraan haji adalah desentralisasi. Untuk menterjemahkan terminologi dari PP No. 38 tahun 2007 ini sebaiknya bersifat bottom up dan dibahas secara bersama.
Analisis RO Dinkes Prov Kaltim berdasarkan: Peraturan yang berlaku, fungsi, potensi, dana dan SDM yang tersedia. Mengoptimalkan peran pemerintah dalam konteks good governance. Sebagai dasar dalam merumuskan fungsi dinkes. Untuk merumuskan fungsi yang sesuai dengan PP 38 2007 ada peranan pusat, prov dan kab/kota. Depkes RI dapat segera memberikan pedoman dan masukan bagi daerah terhadap maksud PP 38 tahun 2007. Harapannya adalah: adanya kejelasan mengenai arti pengelolaan, dan penyelenggaraan. Sesuai dengan peranan pusat adalah membuat standar dan pedoman untuk daerah. Maka Depkes lah yang lebih berwenang untuk memfasilitasi daerah”.
Penyusunan RO ini dalam hal dana kadangkala menjadi dilema. Karena seringkali penyusunan RO menjadi “structure follows budget” bukan berdasarkan fungsi. Namun lebih lanjut Sutarnyoto Mkes menambahkan, bagi dinkes provinsi Kaltim tidak masalah dalam hal dana, masih bisa dicarikan dari APBD..yang membutuhkan anggaran besar itu adalah kabupaten/kota karena kab/kota lah yang melaksanakan operasional, provinsi hanya sebatas bindal, pengawasan dan pelatihan (jika memungkinkan) . Rancangan Struktur Organisasi Dinkes Provinsi Kaltim ini ada beberapa versi. Mulai dari versi dengan analisis adaptasi dari perubahan struktur lama sampai ke versi analisis radikal.
Pertimbangan untuk versi yang secara radikal berubah, yaitu melihat fungsi regulasi sebagai prioritas, sangat tidak sinkron dengan struktur Depkes. Sehingga Dinkes Prov Kaltim merancang struktur yang mengakomodir PP 38/2007 dan memperbanyak UPT seperti Jamkesda, SIK dan Surveilans. Hal ini masih menjadi pembahasan utama di jajaran pemda Prov. Kaltim”.
Penyusunan RO DKK Balikpapan memperhatikan visi dan misi Dinkes Kota Balikpapan disamping melihat kebutuhan dan potensi yang ada, tapi sesuai dengan apa yang dijabarkan dalam PP 38/2007 dan PP 41/2007. Penyusunan RO ini juga menekankan kepada fungsi Dinkes sebagai lembaga regulator. Kadinkes Kota Balikpapan menjelaskan bahwa DKK Balikpapan membentuk unit yang mengelola Jamkesda dalam bentuk UPT.
Depkes memang harus segera menyelesaikan PR-nya untuk membuat pedoman bagi daerah. Menanggapi masalah pembentukan unit PPNS di dalam struktur Depkes RI. Unit PPNS ini sangat perlu dibentuk disetiap level struktur organisasi, terutama di organisasi kesehatan untuk mengantisipasi konflik antar lembaga. DKK Balikpapan terhadap UPT Jamkesda yang dibentuk, sebaiknya dalam bentuk Badan. Karena kalau dalam bentuk UPTD akan mengurangi keleluasaan dalam pengaturan dan pelaksanaan Jamkesda tersebut.. Apabila UPT yang dibentuk bisa lebih dari 3, dan ketenagaannya adalah tenaga fungsional. Hal ini bagi tenaga Fungsional dalam UPT tersebut akan sulit untuk menyusun angka kredit dibandingkan teman-temannya yang di RS atau di Puskesmas. Organisasi Dinkes Prov. Kaltim yang dirancang belum final, ada 3 hal yang perlu diperhatikan: Pengkayaan fungsi, regulasi ini tetap dimainkan, untuk menjamin fungsi yang ada, dan memperhatikan tata hubungan antara jajaran internal dan eksternal yang harus jelas, di dinkes maupun di pemda. Kesemua hal itu tergantung juga dengan kesiapan dari tenaga dan fungsi yang ada dengan melihat fungsi yang ada dan fungsi yang baru.
Menanggapi mengenai UPT Dinas untuk Surveillance dan SIK, Kadinkes menjelaskan bahwa, “melihat kondisi yang ada dan beban penyakit di daerah, maka diharapkan Surveillance dan SIK ini menjadi UPT”. Untuk UPT RSD milik Provinsi, dari pengalaman kasus yang ada, RS ini akan menjadi LTD dan bentuknya akan dijadikan BLUD”. Belum final. Karena urusan Provinsi dalam bagian yang mana masih belum jelas. Tugas dan fungsinya juga masih belum jelas antara kab/kota. Apakah hanya bertugas dalam hal memberikan subsidi..jika hanya dalam hal subsidi maka tidak perlu Jamkesda itu sebagai UPT di level Provinsi Kaltim. Jadi intinya harus ada duduk bersama antara Provinsi Kaltim dan Kab/Kota untuk pembahasan Jamkesda ini”.
Untuk pengelolaan UPT Jamkesda adalah secara BLUD, dengan pedoman PP yang ada. Pada dasarnya Kota menyerahkan secara bebas apakah masalah JPKM ini akan dikelola oleh prvpinsi ataukah akan dikelola oleh Kab/Kota untuk mengantisipasi program eksklusif di daerah. Untuk sinkronisasi dengan Provinsi, Kadinkes Kota Balikpapan menegaskan bahwa rancangan struktur Dinas Kesehatan Kota Balikpapan sudah sinkron dengan rancangan struktur organisasi Dinkes Provinsi Kaltim”.
Perspektif yang menjadi dasar dalam penyusunan struktur orgnisasi ini adalah tidak hanya berdasarkan ilmu kesehatan semata. Namun sebaiknya dilihat dengan mengacu kepada ilmu lainnya seperti ilmu administrasi negara”. Suasana yang diharapkan Pasca PP No. 38/2007 ini adalah adanya peningkatan fungsi pengawasan oleh Dinas Kesehatan. Hal ini menjadi salah satu aplikasi konsep Good-Governance.
Ada mekanisme pengendalian yang jelas di sektor kesehatan. Selama beberapa tahun belakangan ini UGM banyak membahas fungsi ini termasuk mengembangkan badan independen pengendalian mutu (dalam proyek PHP I di DIY), dalam bentuk adanya Badan Mutu. Sebagai gambaran, jumlah RS yang ada di Kota Balikpapan sebanyak 10 (sepuluh) RS, Kota Yogya 17 (tujuh belas) RS sementara di Kota Bandung ada 32 (tiga puluh dua) RS. Perlu dikembangkan struktur organisasi yang tepat untuk melaksanakan fungsi ini.
Penyusunan RO akan dipengaruhi oleh variasi kemampuan ekonomi daerah, dimana secara garis besar ada 4 (empat) tipologi tergantung pada kemampuan pemerintah daerah dan keadaan ekonomi masyarakat. Untuk kasus Provinsi Kaltim dan Kota Balikpapan, kedua daerah ini berada di kuadran dimana ada pemerintah daerah yang kuat secara ekonomi dan masyarakatnya mengalami peningkatan ekonomi. Hal ini pasti akan meningkatkan jumlah pelayanan kesehatan oleh swasta. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa aspek regulasi menjadi hal baru yang diperhatikan secara kuat dalam penyusunan kembali struktur organisasi Dinas Kesehatan.
UPT bukanlah sebagai tempat penampungan. Surveillance sebagaimana dimaksud dalam PP No. 38/2007 tersebut adalah cenderung sentralisasi. Dalam PP No. 38/2007, kata pengelolaan di surveillance hanya ada di pemerintah pusat. Artinya sistem surveillance hanya boleh dirancang oleh pemerintah pusat. Sementara itu kata pengelolan untuk masalah Jamkesda ada di pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Artinya untuk penyelenggaraan Jamkesda, sistem jaminan dapat dirancang oleh daerah sesuai dengan potensi yang ada.
Untuk mengharmonisasi fungsi ini antara Depkes Pusat, Provinsi dan Kab/Kota, perlu diperhatikan fungsi yang ada di pemda sendiri yang harus diharmonisasi. Ada beberapa fungsi untuk harmonisasi, yaitu: Fungsi yang sifatnya koordinator keuangan : dipegang setda, biro keuangan, Fungsi yang sifatnya koordinator perencanaan : Bapeda, dinkes, badan dan kantor; Fungsi yang sifatnya koordinator penyelenggaraan : dinkes dan lintas sektor, dan Fungsi yang sifatnya teknis operasional : UPT. Fungsi sebagai pelayanan : yang sifatnya ada 3, yaitu pelayanan publik, pelayanan yang terkait dengan potensi di daerah , pelayanan yang terkait dengan pelayanan kesehatan dasar dan tingkat lanjutan. Jadi harus mencermati hubungan dengan badan, kantor dan instansi lain yang terkait kesehatan, hubungan dengan Pihak ketiga (swasta).
Ada satu PP baru (PP 50/2007) tentang kerjasama antar daerah. Apabila muncul kerjasama dengan satu daerah dengan dinasnya pasti akan mengakibatkan terbentuknya lembaga baru yang mengurusi hal ini. PP baru ini mengatur hal tersebut. Jadi perlu diperhatihan dalam menyusun RO Dinkes. Untuk masalah dengan swasta ada Corporate Social Responsibility (CSR), dimana Provinsi Kaltim diikut sertakan dari KPC. Pembelajaran dari Kaltim adalah di dalam UU dijabarkan dalam bentuk RO yaitu dimasukkan dalam satu sub bidang yang dapat mengelola dana CSR yang ada. Karena selama ini tidak dikelola dengan baik oleh dinkes Prov. KaltiM.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Inkom dan PDE Prov. Sulawesi Selatan. ” Kebijakan Pengembangan ”, www.google.com, diakses pada : Selasa, 3 Juni 2008.

Ichsan, Muhammad. ”Perubahan Lingkungan Sektor Public”, www.google.com, diakses pada : Selasa, 3 Juni 2008.

Indriyo G. dan I Nyoman. 1997. Prilaku Keorganisasian. Yogyakarta : BPFE.

Wandy. 2007. “ Struktur Organisasi Fungsi Depkes RI, Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam era PP 38 dan PP No. 41 Tahun 2007. www.google.com, Blog pada WordPress.com, diakses pada : Selasa, 3 Juni 2008.

Winardi, J. 2006. Manajemen Perubahan (The Management Change). Jakarta : Kencana.

Minggu, 01 Juni 2008

ARTIKEL

CORPORATE CULTURE (Budaya Organisasi di tengah-tengah perubahan)
OLEH: LEILY SAFARIA (F1B006064)


Sumber Daya Manusia dalam sebuah organisasi dapat diandaikan sekumpulan tombak. SDM yang kompeten (tombak yang runcing ini) arahnya sering ke mana-mana. Tugas budaya perusahaan adalah mengikat mereka dalam satu arah, sehingga mempunyai "daya dobrak" yang tinggi dalam persaingan.

Pada saat ini semakin banyak perusahaan yang menyadari betapa pentingnya peran budaya perusahaan bagi perusahaan. Dahulu budaya perusahaan hanya dipandang sebagai salah satu alasan kenapa perusahaan mencapai sukses. Tetapi pandangan tentang budaya perusahaan sekarang menjadi salah satu tema sentral dalam pengembangan perusahaan.

Budaya perusahaan bukan hanya dipandang sebagai warisan masa lalu belaka, tetapi juga harus direkayasa dan ditempatkan sebagai strategic untuk mencapai tujuan perusahaan dan sebagai andalan daya saing. Hampir semua aspek pengembangan perusahaan selalu terkait dengan budaya perusahaan.

Ketika krisis melanda negara kita, banyak perusahaan dijual, diambil alih dan di merger. Masalah perbedaan budaya perusahaan dan bagaimana mengatasi perbedaan itu menjadi masalah yang menonjol. Beberapa program Kerja Sama Operasi juga banyak yang terhambat, karena masalah budaya perusahaan. Padahal perkembangan bisnis ke depan memang diwarnai oleh network organization, yang didorong oleh keinginan menggabungkan kompetensi masing-masing untuk mendapatkan nilai terbaik bagi pelanggan. Dan batu sandungan terbesar adalah perbedaan norma yang bersumber dari perbedaan budaya perusahaan masing-masing organisasi.

Krisis juga menyadarkan perusahaan untuk berbenah diri dan melakukan perubahan yang signifikan. Padahal dalam pengembangan organisasi, tak akan ada keberhasilan tanpa dukungan budaya perusahaan yang sesuai. Misalnya kualitas produk dan kualitas jasa dapat diciptakaN sesuai dengan kultur nilai dan identitas dari suatu perusahaan itu sendiri.

Sebenarnya setiap perusahaan selalu memiliki budaya perusahaan. Persoalannya apakah budaya perusahaan ini diformulasikan atau tidak. Berbeda dengan aspek manajemen lainnya, budaya perusahaan sulit untuk dirumuskan walaupun sangat dirasakan keberadaannya. Padahal setiap perubahan apa pun dalam organisasi harus disertai pula perubahan budaya perusahaan. Jika tidak dilakukan, akan terjebak pada perubahan artifisial yang hanya menyentuh kulitnya, tetapi tidak merasuk ke dalam. Sehingga dalam waktu tidak lama akan kembali ke bentuk semula.

Dalam melakukan corporate culture engineering bukan saja dituntut keahlian dalam bidang pengembangan organisasi, tetapi juga pemahaman yang baik dalam bidang antropologi. Program ini akan bersentuhan dengan elemen-elemen sebuah budaya perusahaan seperti nilai-nilai, heroisme, ritual dan jaringan kultural. Proses sosialisasi dan internalisasi tidak dapat hanya dilakukan melalui pelatihan biasa. Harus dilakukan pengkajian secara mendalam, memilih bauran sarana sosialisasi yang paling tepat, dan mengemasnya dalam sebuah program terpadu, yang dapat dievaluasi dan dikontrol efektivitasnya.